Demo Mahasiswa Medan
Demo Mahasiswa Medan Melawan Politik Dinasti dan Persyaratan Pilkada. “Kami terpaksa melakukan Ini, agar DPR dapat mendengar suara kami. Karena Demo Mahasiswa adalah menjadi benteng terakhir demokrasi.
Hidup Mahasiswa…Hidup Mahasiswa…!!
Rakyat Menuntut DPR dan Pemerintah
Demo Mahasiswa yang berlangsung pada tanggal 28 Oktober 2024. Terdiri atas mahasiswa Medan dari berbagai kelompok, termasuk Aliansi Kemarahan Buruh dan Rakyat Sumatera Utara. Pendemo membuat tuntutan sebagai berikut:
- menuntut agar DPR membatalkan Revisi UU Pilkada dan mematuhi putusan Mahkamah Konstitusi yang final dan mengikat. Mereka juga menuntut agar KPU segera mengeluarkan PKPU sesuai dengan putusan Mahkamah Konstitusi.
- Agar KPU segera mengeluarkan PKPU sesuai dengan putusan Mahkamah Konstitusi.
- Menolak politik dinasti dan meminta agar pemerintah tidak mengintervensi putusan Mahkamah Konstitusi.
- Segera mengesahkan RUU Perampasan Aset, RUU Perlindungan Masyarakat Adat, dan RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga.
- Serta menolak komersialisasi pendidikan dan layanan kesehatan.
Mari kita bahas isi dari Tuntutan tersebut.
1. Revisi UU Pilkada
Revisi Undang-Undang Pemilihan Kepala Daerah (UU Pilkada) yang sedang dibahas oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) mencakup beberapa poin krusial, yang sedang menjadi sorotan, yaitu :
1. Ambang Batas Pencalonan (Threshold):
Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) mengubah ambang batas pencalonan oleh partai politik dari 20 persen kursi DPRD atau 25 persen suara sah menjadi syarat baru berdasarkan jumlah penduduk. Namun, DPR masih mempertahankan ambang batas lama untuk partai yang memiliki kursi di DPRD, sementara partai tanpa kursi di DPRD harus memenuhi syarat baru yang ditetapkan oleh MK.
2. Batas Usia Minimum Calon Kepala Daerah:
UU Pilkada mengatur batas usia minimum calon gubernur adalah 30 tahun dan calon bupati/wali kota adalah 25 tahun. Putusan MK menegaskan batas usia minimum tetap sama, tetapi DPR mengubahnya menjadi batas usia saat resmi dilantik, bukan saat pencalonan
2. Peraturan KPU sesuai keputusan MK
Peraturan KPU (PKPU) Nomor 10 Tahun 2024 mengatur berbagai aspek penting terkait pencalonan kepala daerah di Pilkada. Berikut adalah beberapa poin utama dari PKPU ini.
A. Ambang Batas Pencalonan:
PKPU ini mengatur ambang batas pencalonan oleh partai politik atau gabungan partai berdasarkan jumlah penduduk di daerah tersebut. Misalnya, untuk provinsi dengan penduduk sampai 2 juta jiwa, partai harus memperoleh suara paling sedikit 10 persen dalam pemilu anggota DPRD di daerah tersebut.
B. Akumulasi Suara:
PKPU ini juga mengatur bahwa akumulasi suara sah yang diperoleh partai dalam pemilu anggota DPRD di daerah tersebut harus memenuhi persyaratan tertentu untuk dapat mendaftarkan pasangan calon.
C. Batas Usia Calon:
PKPU ini menegaskan bahwa batas usia minimum calon kepala daerah tetap sama, yaitu 30 tahun untuk gubernur dan 25 tahun untuk bupati/walikota.
D. Pengawasan dan Pengadilan:
PKPU ini juga mengatur tentang pengawasan dan pengadilan terkait pencalonan kepala daerah untuk memastikan bahwa proses pemilu dilakukan secara adil dan sesuai dengan hukum.
PKPU ini dirancang untuk memastikan bahwa proses pencalonan kepala daerah dilakukan secara transparan, adil, dan sesuai dengan putusan Mahkamah Konstitusi yang mengikat.
3. Demo Mahasiswa Medan Menolak Politik Dinasti
Dinasti politik bisa membawa beberapa kerugian bagi mahasiswa dan masyarakat umum:
A. Ketidakadilan dan Meritokrasi:
Dinasti politik sering kali mengabaikan prinsip meritokrasi, di mana posisi kepemimpinan diberikan berdasarkan hubungan keluarga daripada kemampuan dan prestasi. Ini bisa menghalangi mahasiswa berbakat yang tidak memiliki hubungan keluarga dengan penguasa untuk mendapatkan posisi strategis.
B. Korupsi dan Nepotisme:
Konsentrasi kekuasaan dalam satu keluarga meningkatkan risiko korupsi dan nepotisme. Keluarga yang berkuasa sering kali menggunakan posisinya untuk memperkaya diri dan kerabatnya, yang bisa merugikan masyarakat luas.
C. Penurunan Kepercayaan Publik:
Masyarakat, termasuk mahasiswa, mungkin merasa bahwa proses pemilihan tidak adil ketika posisi politik didominasi oleh keluarga tertentu. Ini bisa mengurangi kepercayaan terhadap sistem demokrasi dan memicu apati politik.
D. Hambatan Regenerasi Kepemimpinan:
Dinasti politik menghambat regenerasi kepemimpinan yang sehat, mengorbankan kualitas dan inovasi dalam pemerintahan. Ini bisa berdampak negatif pada perkembangan kebijakan yang berpihak pada kepentingan masyarakat luas.
E. Konflik Kepentingan:
Keluarga yang memiliki kekuasaan politik sering kali menghadapi konflik kepentingan, di mana keputusan politik diambil bukan berdasarkan kepentingan publik, melainkan demi keuntungan pribadi atau keluarga.
Secara keseluruhan, dinasti politik dapat menghambat perkembangan demokrasi yang sehat dan merugikan masyarakat, termasuk mahasiswa yang berjuang untuk keadilan dan kesetaraan.
4. Keputusan MK dapat melegalkan Politik Dinasti
Keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait syarat Pilkada memiliki hubungan erat dengan politik dinasti. Pada tahun 2015, MK mengeluarkan Putusan Nomor 33/PUU-XIII/2015 yang menyatakan bahwa Pasal 7 huruf r UU Pilkada, yang melarang calon kepala daerah memiliki hubungan darah atau perkawinan dengan petahana, adalah bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.
Dengan Putusan ini tidak ada pembatasan lagi dengan alasan persamaan kedudukan sesama warga negara. Dan pembatasan tersebut melanggar hak konstitusional individu untuk dipilih dan mencalonkan diri. Akibatnya, putusan ini dianggap melegalkan politik dinasti, karena memungkinkan kerabat petahana untuk mencalonkan diri dalam Pilkada tanpa hambatan hukum.
Hal ini menimbulkan kekhawatiran bahwa politik dinasti akan semakin subur, mengingat adanya potensi konflik kepentingan dan penyalahgunaan kekuasaan oleh keluarga petahana. Oleh karena itu, mahasiswa dan berbagai elemen masyarakat sering kali menuntut agar DPR dan pemerintah mengambil langkah-langkah untuk mengatasi dampak negatif dari politik dinasti.